Home »
Label:
Sejarah Kota
» Sejarah Kota Medan Dan Walikotanya
Sejarah Kota Medan Dan Walikotanya
Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.
1. Asal-usul nama Kota Medan
Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.
tirtanadi-tMenara Tirtanadi, merupakan salah satu maskot kota Medan, Disebabkan letaknya yang berada di Tanah Deli, Kampung Medan juga sering dikenal sebagai Medan-Deli. Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat di mana Sungai Deli bertemu dengan Sungai Babura. Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber literatur mengenai asal-usul kata “Medan” itu sendiri.
a. Dari catatan penulis-penulis Portugis yang berasal dari awal abad ke-16, disebutkan bahwa
Medan berasal dari nama “Medin”,
b. Medan Berasal dari bahasa India “Meiden”,
c. sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa disebutkannya kata “Medan” karena kota ini
merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku sehingga disebut sebagai medan
pertemuan.
d. bahasa Arab mengatakan ketika para saudagar arab yang kebetulan melihat tanah medan
sekarang mereka mengatakan Median yang berarti datar atau rata, dan memang pada
kenyataan nya medan memiliki kontur tanah yang rata mulai pantai belawan sampai ke daerah
pancur batu. dan bila dilihat dari ketinggian maka terlihat medan seperti hamparan tanah yang
datar
e. Medan bahasa batak Karo “medan berarti sehat” .Namun demikian, ada baiknya kita
kembalikan pengertian istilah Medan itu sendiri pada tempat yang semestinya. Bila kita
menilik dari sumber-sumber sejarah bahwa kota Medan pertama sekali didiami oleh suku
Batak, dalam hal ini Batak Karo, tentunya kata “Medan” itu haruslah berasal dari bahasa Batak
Karo.
Dalam salah satu Kamus Batak Karo-Indonesia yang ditulis oleh Darwin Prinst SH: 2002, bahwa Kata “Medan” berarti “menjadi sehat” ataupun “lebih baik”. Hal ini memang berdasarkan pada kenyataan bahwa Guru Patimpus benar adanya adalah seorang tabib yang dalam hal ini memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional Batak Karo pada masanya.
Sejarah Kota Medan
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama “Medan Putri”. Perkembangan Kampung “Medan Putri” tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung “Medan Putri” yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang Suku Batak Karo. Hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan Bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan Aceh di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Di masa pemerintahan Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit (memerintah dari 1669-1698), terjadi sebuah perang kavaleri di Medan. Sejak saat itu, Medan menjadi pembayar upeti kepada Sultan Deli.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Guru Patimpus Pendiri Kampung Medan(cikal Kota Medan)
Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok., sedangkannya anak kedua laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.
Kedatangan Laksamana Kuda Bintan dari Aceh
Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Jumlah Penduduk Medan tahun 1823
Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.
Pesatnya perkembangan Kampung “Medan Putri”, juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung “Medan Putri”. Dengan demikian “Kampung Medan Putri” menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai “Kota Medan”.
Medan Menurut Lagenda
Menurut legenda di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli lama kira-kira 10 Km dari Kampung Medan yakni di Deli Tua sekarang seorang Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan Putri ini tersohor kemana-mana mulai dari Aceh sampai ke ujung Utara Pulau Jawa.
Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh saudara kedua laki-laki Putri Hijau. Sultan aceh sangat marah karena penolakan itu dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli.
Menurut legenda yang tersebut diatas, dengan menggunakan kekuatan gaib seorang dari saudara Putri hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.
KesultananDeli lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa Putra Mahkota yang menjelma menjadi meriam itu meledak sebagian, bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo kira-kira 5 Km dari Kabanjahe.
Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat kedalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri dikabulkan. Tetapi baru saja uapacara dimulai tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat disusul gelombang-gelombang yang sangat tinggi.
Dari dalam laut muncullah abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dan dengan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.Legenda ini samapai sekarang masih terkenal di kalangan masyarakat Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia. Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan Benteng dan Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedang sisa meriam penjelmaan abang Putri Hijau itu dapat dilihat di halaman Istana Maimun Medan.
Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih tiga setengah abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja di daerah Tapanuli.
Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda J.Van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti ditengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu J.C.Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama perang Paderi ( 1821-1837 ).
Belanda Menjajah Deli(Medan)
Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris dengan pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kerajaan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.
Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.
Medan Menjadi Ibukota Asisten Residen Deli
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887,Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan “Acte van Schenking” (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
Pendududuk Medan Tahun 1918
Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.
Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan – Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.
Medan dimasa Penjajahan Jepang
Tahun 1942 penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang ketika itu Jepang mendarat dibeberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan khusus di Sumatera Jepang mendarat di Sumatera Timur.
Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapore, tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peurlak Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari rakyat disekitarnya secara barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena mereka adalah saudara Tua orang-orang Asia sehingga mereka dieluelukan menyambut kedatangannya.
Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama “ Kempetai “ (Polisi Militer Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut “Gemeente Bestuur “ oleh Jepang dirobah menjadi “Medan Sico“ (Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.
Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin papa, karena dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja. Disebelah Timur Kota Medan yakni Marindal sekarang dibangun Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Dikawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur Jepang.
Kota Medan Menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia
Dimana-mana diseluruh Indonesia menjelang tahun 1945 bergema persiapan Proklamasi demikian juga di Kota Medan tidak ketinggalan para tokoh pemudanya melakukan berbagai macam persiapan. Mereka mendengar bahwa bom atom telah jatuh melanda Kota Hiroshima, berarti kekuatan Jepang sudah lumpuh. Sedangkan tentara sekutu berhasrat kembali untuk menduduki Indonesia.
Khususnya di kawasan kota Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya segera menghentikan segala kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan pembinaan dan pengerahan pemuda. Apa yang selama ini mereka lakukan untuk merekrut massa pemuda seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta mereka bubarkan atau kembali kepada masyarakat. Secara resmi kegiatan ini dibubarkan pada tanggal 20 Agustus 1945 karena pada hari itu pula penguasa Jepang di Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan Jepang. Beliau juga menyampaikan bahwa tugas pasukan mereka dibekas pendudukan untuk menjaga status quo sebelum diserah terimakan pada pasukan sekutu. Sebagian besar anggota pasukan bekas Heiho, Romusha, Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa bingung karena kehidupan mereka terhimpit dimana mereka hanya diberikan uang saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang dengan seragam coklat di tengah kota.
Beberapa tokoh pemuda melihat hal demikian mengambil inisiatif untuk menanggulanginya. Terutama bekas perwira Gyu Gun diantaranya Letnan Achmad Tahir mendirikan suatu kepanitiaan untuk menanggulangi para bekas Heiho, Romusha yang famili/saudaranya tidak ada di kota Medan. Panitia ini dinamai dengan “Panitia Penolong Pengangguran Eks Gyu Gun“ yang berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung Pemuda sekarang).
Tanggal 17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke kota Medan walupun dengan agak tersendat-sendat karena keadaan komunikasi pada waktu itu sangat sederhana sekali. Kantor Berita Jepang “Domei” sudah ada perwakilannya di Medan namun mereka tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat tambah bingung.
Sekelompok kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1 September 1945 yang dipimpin Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.
Akhirnya dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda mengadakan berbagai aksi agar bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan di Indonesia demikian juga di kota Medan yang menjadi bagiannya. Mereka itu adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Edisaputra, Rustam Efendy, Gazali Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir, Bahrum Djamil, Marzuki Lubis dan Muhammad Kasim Jusni.
Dibukanya perkebunan tembakau
Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau. Jacob Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot, pedagang tembakau asal Belanda memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 Bahu di Tanjung Spassi, dekat Labuhan. Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya. Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik.
Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Nienhuys bersama Jannsen, P.W. Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan. Kantor baru itu dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II (eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta sungai Beras dan Klumpang pada tahun 1875.
Seperti yang dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar, kuli-kuli perkebunan itu umumnya orang-orang Tionghoa yang didatangkan dari Jawa, Tiongkok, Singapura, atau Malaysia. “Belanda menganggap orang-orang Karo dan Melayu malas serta melawan sehingga tidak dapat dijadikan kuli” tulis Tengku Luckman Sinar dalam bukunya..
Menjadi pusat pemerintahan
Medan yang tumbuh dari kota dagang berkembang sebagai pusat pemerintahan. Pada 1 Maret 1887, ibu kota Karesidenan Sumatera Timur dipindahkan dari Bengkalis ke Medan. Setelah selesainya pembangunan Istana Maimun pada 18 Mei 1891, Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah memindahkan istananya dari Kampung Bahari, Labuhan. Sejak saat itu, ibu kota Kesultanan Deli resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1907 dibuka bank pertama di Medan, yaitu De Javasche Bank (kini Bank Indonesia. Pada tahun 1915, Medan secara resmi menjadi ibu kota provinsi Sumatra Utara, dan pada tahun 1918 resmi menjadi sebuah kotapraja.
Masa pendudukan Belanda di Tanah Deli berakhir pada 1942, ketika bala tentara Jepang mendarat di tanjung Tiram, Asahan. Di masa pendudukan Jepang, perekonomian rakyat Deli menjadi curat-marut. Masa keemasan Deli pun berakhir, hingga kemudian berkembang lagi di masa kemerdekaan. Tetapi, kemasyuran tembakau Deli yang wangi yang sempat merajai pusat lelang tembakau dunia di Bremen, Jerman, kini tak terdengar lagi. (Majalah Gatra, Edisi Khusus: 2005)
Medan di Zaman Reformasi
Pada tahun 1998, dari 4 hingga 7 Mei, Medan dilanda kerusuhan besar yang menjadi titik awal kerusuhan-kerusuhan besar yang kemudian terjadi di sepanjang Indonesia, termasuk Peristiwa Mei 1998 di Jakarta seminggu kemudian. Dalam kerusuhan yang terkait dengan gerakan “Reformasi” ini, terjadi pembakaran, perusakan, maupun penjarahan yang tidak dapat dihentikan aparat keamanan.
Saat ini kota Medan telah kembali berseri. Pembangunan sarana dan prasarana umum gencar dilakukan. Meski jumlah jalan-jalan yang rusak, berlobang masih ada, namun jika dibandingkan dahulu, sudah sangat menurun.[rujukan?] Kendala klasik yang dihadapi kota modern seperti Medan adalah kemacetan akibat jumlah kenderaan yang meningkat pesat dalam hitungan bulan, tidak mampu diimbangi dengan peningkatan sarana jalan yang memadai.
Sumber: Wikipedia
Daftar Walikota Medan
No.
Nama
Masa jabatan
1
D. baron Mackay
1918 – 1931
2
J.M. Wesselink
1931 – 1935
3
G. Pitlo
1935 – 1938
4
C.E.E. Kuntze
1938- 1942
5
M. Yusuf
10 November 1945 – Agustus 1947
6
Djaidin Purba
1 November 1947 – 12 Juli 1952
7
A.M. Jalaluddin
12 Juli 1952 – 1 Desember 1954
8
Hadji Muda Siregar
6 Desember 1954 – 14 Juni 1958
9
Madja Purba
3 Juli 1958 – 28 Februari 1961
10
Basyrah Lubis
28 Februari 1961 – 30 Oktober 1964
11
P.R. Telaumbanua
10 Oktober 1964 – 28 Februari 1965
12
Aminurrasyid
28 Agustus 1965 – 26 September 1966
13
Sjoerkani
26 September 1966 – 3 Juli 1974
14
H.M. Saleh Arifin
3 Juli 1974 – 31 Maret 1980
15
H. Agus Salim Rangkuti
1 April 1980 – 31 Maret 1990
16
Bachtiar Djafar
1 April 1990 – 31 Maret 2000
17
Abdillah
1 April 2000 – 20 Agustus 2008
18
H. Afifuddin Lubis
20 Agustus 2008 – sekarang
1. Asal-usul nama Kota Medan
Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.
tirtanadi-tMenara Tirtanadi, merupakan salah satu maskot kota Medan, Disebabkan letaknya yang berada di Tanah Deli, Kampung Medan juga sering dikenal sebagai Medan-Deli. Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat di mana Sungai Deli bertemu dengan Sungai Babura. Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber literatur mengenai asal-usul kata “Medan” itu sendiri.
a. Dari catatan penulis-penulis Portugis yang berasal dari awal abad ke-16, disebutkan bahwa
Medan berasal dari nama “Medin”,
b. Medan Berasal dari bahasa India “Meiden”,
c. sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa disebutkannya kata “Medan” karena kota ini
merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku sehingga disebut sebagai medan
pertemuan.
d. bahasa Arab mengatakan ketika para saudagar arab yang kebetulan melihat tanah medan
sekarang mereka mengatakan Median yang berarti datar atau rata, dan memang pada
kenyataan nya medan memiliki kontur tanah yang rata mulai pantai belawan sampai ke daerah
pancur batu. dan bila dilihat dari ketinggian maka terlihat medan seperti hamparan tanah yang
datar
e. Medan bahasa batak Karo “medan berarti sehat” .Namun demikian, ada baiknya kita
kembalikan pengertian istilah Medan itu sendiri pada tempat yang semestinya. Bila kita
menilik dari sumber-sumber sejarah bahwa kota Medan pertama sekali didiami oleh suku
Batak, dalam hal ini Batak Karo, tentunya kata “Medan” itu haruslah berasal dari bahasa Batak
Karo.
Dalam salah satu Kamus Batak Karo-Indonesia yang ditulis oleh Darwin Prinst SH: 2002, bahwa Kata “Medan” berarti “menjadi sehat” ataupun “lebih baik”. Hal ini memang berdasarkan pada kenyataan bahwa Guru Patimpus benar adanya adalah seorang tabib yang dalam hal ini memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional Batak Karo pada masanya.
Sejarah Kota Medan
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama “Medan Putri”. Perkembangan Kampung “Medan Putri” tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung “Medan Putri” yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang Suku Batak Karo. Hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan Bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan Aceh di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Di masa pemerintahan Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit (memerintah dari 1669-1698), terjadi sebuah perang kavaleri di Medan. Sejak saat itu, Medan menjadi pembayar upeti kepada Sultan Deli.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Guru Patimpus Pendiri Kampung Medan(cikal Kota Medan)
Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok., sedangkannya anak kedua laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.
Kedatangan Laksamana Kuda Bintan dari Aceh
Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Jumlah Penduduk Medan tahun 1823
Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.
Pesatnya perkembangan Kampung “Medan Putri”, juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung “Medan Putri”. Dengan demikian “Kampung Medan Putri” menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai “Kota Medan”.
Medan Menurut Lagenda
Menurut legenda di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli lama kira-kira 10 Km dari Kampung Medan yakni di Deli Tua sekarang seorang Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan Putri ini tersohor kemana-mana mulai dari Aceh sampai ke ujung Utara Pulau Jawa.
Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh saudara kedua laki-laki Putri Hijau. Sultan aceh sangat marah karena penolakan itu dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli.
Menurut legenda yang tersebut diatas, dengan menggunakan kekuatan gaib seorang dari saudara Putri hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.
KesultananDeli lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa Putra Mahkota yang menjelma menjadi meriam itu meledak sebagian, bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo kira-kira 5 Km dari Kabanjahe.
Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat kedalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri dikabulkan. Tetapi baru saja uapacara dimulai tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat disusul gelombang-gelombang yang sangat tinggi.
Dari dalam laut muncullah abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dan dengan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.Legenda ini samapai sekarang masih terkenal di kalangan masyarakat Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia. Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan Benteng dan Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedang sisa meriam penjelmaan abang Putri Hijau itu dapat dilihat di halaman Istana Maimun Medan.
Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih tiga setengah abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja di daerah Tapanuli.
Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda J.Van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti ditengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu J.C.Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama perang Paderi ( 1821-1837 ).
Belanda Menjajah Deli(Medan)
Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris dengan pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kerajaan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.
Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.
Medan Menjadi Ibukota Asisten Residen Deli
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887,Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan “Acte van Schenking” (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
Pendududuk Medan Tahun 1918
Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.
Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan – Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.
Medan dimasa Penjajahan Jepang
Tahun 1942 penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang ketika itu Jepang mendarat dibeberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan khusus di Sumatera Jepang mendarat di Sumatera Timur.
Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapore, tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peurlak Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari rakyat disekitarnya secara barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena mereka adalah saudara Tua orang-orang Asia sehingga mereka dieluelukan menyambut kedatangannya.
Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama “ Kempetai “ (Polisi Militer Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut “Gemeente Bestuur “ oleh Jepang dirobah menjadi “Medan Sico“ (Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.
Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin papa, karena dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja. Disebelah Timur Kota Medan yakni Marindal sekarang dibangun Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Dikawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur Jepang.
Kota Medan Menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia
Dimana-mana diseluruh Indonesia menjelang tahun 1945 bergema persiapan Proklamasi demikian juga di Kota Medan tidak ketinggalan para tokoh pemudanya melakukan berbagai macam persiapan. Mereka mendengar bahwa bom atom telah jatuh melanda Kota Hiroshima, berarti kekuatan Jepang sudah lumpuh. Sedangkan tentara sekutu berhasrat kembali untuk menduduki Indonesia.
Khususnya di kawasan kota Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya segera menghentikan segala kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan pembinaan dan pengerahan pemuda. Apa yang selama ini mereka lakukan untuk merekrut massa pemuda seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta mereka bubarkan atau kembali kepada masyarakat. Secara resmi kegiatan ini dibubarkan pada tanggal 20 Agustus 1945 karena pada hari itu pula penguasa Jepang di Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan Jepang. Beliau juga menyampaikan bahwa tugas pasukan mereka dibekas pendudukan untuk menjaga status quo sebelum diserah terimakan pada pasukan sekutu. Sebagian besar anggota pasukan bekas Heiho, Romusha, Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa bingung karena kehidupan mereka terhimpit dimana mereka hanya diberikan uang saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang dengan seragam coklat di tengah kota.
Beberapa tokoh pemuda melihat hal demikian mengambil inisiatif untuk menanggulanginya. Terutama bekas perwira Gyu Gun diantaranya Letnan Achmad Tahir mendirikan suatu kepanitiaan untuk menanggulangi para bekas Heiho, Romusha yang famili/saudaranya tidak ada di kota Medan. Panitia ini dinamai dengan “Panitia Penolong Pengangguran Eks Gyu Gun“ yang berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung Pemuda sekarang).
Tanggal 17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke kota Medan walupun dengan agak tersendat-sendat karena keadaan komunikasi pada waktu itu sangat sederhana sekali. Kantor Berita Jepang “Domei” sudah ada perwakilannya di Medan namun mereka tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat tambah bingung.
Sekelompok kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1 September 1945 yang dipimpin Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.
Akhirnya dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda mengadakan berbagai aksi agar bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan di Indonesia demikian juga di kota Medan yang menjadi bagiannya. Mereka itu adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Edisaputra, Rustam Efendy, Gazali Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir, Bahrum Djamil, Marzuki Lubis dan Muhammad Kasim Jusni.
Dibukanya perkebunan tembakau
Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau. Jacob Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot, pedagang tembakau asal Belanda memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 Bahu di Tanjung Spassi, dekat Labuhan. Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya. Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik.
Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Nienhuys bersama Jannsen, P.W. Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan. Kantor baru itu dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II (eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta sungai Beras dan Klumpang pada tahun 1875.
Seperti yang dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar, kuli-kuli perkebunan itu umumnya orang-orang Tionghoa yang didatangkan dari Jawa, Tiongkok, Singapura, atau Malaysia. “Belanda menganggap orang-orang Karo dan Melayu malas serta melawan sehingga tidak dapat dijadikan kuli” tulis Tengku Luckman Sinar dalam bukunya..
Menjadi pusat pemerintahan
Medan yang tumbuh dari kota dagang berkembang sebagai pusat pemerintahan. Pada 1 Maret 1887, ibu kota Karesidenan Sumatera Timur dipindahkan dari Bengkalis ke Medan. Setelah selesainya pembangunan Istana Maimun pada 18 Mei 1891, Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah memindahkan istananya dari Kampung Bahari, Labuhan. Sejak saat itu, ibu kota Kesultanan Deli resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1907 dibuka bank pertama di Medan, yaitu De Javasche Bank (kini Bank Indonesia. Pada tahun 1915, Medan secara resmi menjadi ibu kota provinsi Sumatra Utara, dan pada tahun 1918 resmi menjadi sebuah kotapraja.
Masa pendudukan Belanda di Tanah Deli berakhir pada 1942, ketika bala tentara Jepang mendarat di tanjung Tiram, Asahan. Di masa pendudukan Jepang, perekonomian rakyat Deli menjadi curat-marut. Masa keemasan Deli pun berakhir, hingga kemudian berkembang lagi di masa kemerdekaan. Tetapi, kemasyuran tembakau Deli yang wangi yang sempat merajai pusat lelang tembakau dunia di Bremen, Jerman, kini tak terdengar lagi. (Majalah Gatra, Edisi Khusus: 2005)
Medan di Zaman Reformasi
Pada tahun 1998, dari 4 hingga 7 Mei, Medan dilanda kerusuhan besar yang menjadi titik awal kerusuhan-kerusuhan besar yang kemudian terjadi di sepanjang Indonesia, termasuk Peristiwa Mei 1998 di Jakarta seminggu kemudian. Dalam kerusuhan yang terkait dengan gerakan “Reformasi” ini, terjadi pembakaran, perusakan, maupun penjarahan yang tidak dapat dihentikan aparat keamanan.
Saat ini kota Medan telah kembali berseri. Pembangunan sarana dan prasarana umum gencar dilakukan. Meski jumlah jalan-jalan yang rusak, berlobang masih ada, namun jika dibandingkan dahulu, sudah sangat menurun.[rujukan?] Kendala klasik yang dihadapi kota modern seperti Medan adalah kemacetan akibat jumlah kenderaan yang meningkat pesat dalam hitungan bulan, tidak mampu diimbangi dengan peningkatan sarana jalan yang memadai.
Sumber: Wikipedia
Daftar Walikota Medan
No.
Nama
Masa jabatan
1
D. baron Mackay
1918 – 1931
2
J.M. Wesselink
1931 – 1935
3
G. Pitlo
1935 – 1938
4
C.E.E. Kuntze
1938- 1942
5
M. Yusuf
10 November 1945 – Agustus 1947
6
Djaidin Purba
1 November 1947 – 12 Juli 1952
7
A.M. Jalaluddin
12 Juli 1952 – 1 Desember 1954
8
Hadji Muda Siregar
6 Desember 1954 – 14 Juni 1958
9
Madja Purba
3 Juli 1958 – 28 Februari 1961
10
Basyrah Lubis
28 Februari 1961 – 30 Oktober 1964
11
P.R. Telaumbanua
10 Oktober 1964 – 28 Februari 1965
12
Aminurrasyid
28 Agustus 1965 – 26 September 1966
13
Sjoerkani
26 September 1966 – 3 Juli 1974
14
H.M. Saleh Arifin
3 Juli 1974 – 31 Maret 1980
15
H. Agus Salim Rangkuti
1 April 1980 – 31 Maret 1990
16
Bachtiar Djafar
1 April 1990 – 31 Maret 2000
17
Abdillah
1 April 2000 – 20 Agustus 2008
18
H. Afifuddin Lubis
20 Agustus 2008 – sekarang
Receive all updates via Facebook. Just Click the Like Button Below▼
▼