Home »
Label:
asal nama kota
» Asal nama Kota Manado
Asal nama Kota Manado
Oleh: Harry Kawilarang
Kata Pengantar
Memang nyanda sadiki yang batanya dari mana kata itu ide Manado sampe jadi torang pe stad. Nyanda gampan mo dapa dia pe referensi kalo nyanda rajing babongkar cari tau sajarah. Suda jo kwa mengenai Manado, he lei mo tau sejarah Minahasa masi banya lei cuma ba rai, nyanda ada kekuatan referensi akademis. Apa lagi dalam bahasa Indonesia. Maar kita sanang, karna ta pe tamang, Captain Billy Matindas MSc (Alm), yang juga idealis voor mo angka itu Minahasa, iko batulung bacari referensi tentang Minahasa sampe ba Ron ka ujung dunia. Dia ada dapa banyak referensi, yang kemudian dirangkum dan disusun door H.B. Palar dan L.Anes sampe terbit itu buku: "Minahasa: Sejarah dan Derap Langkahnya Menuju Kemerdekaan Indonesia," terbitan Tarsius Headquarters, Manado, November 1994. Memang nyanda ada di toko buku, en Billy Cuma cetak cuma 1000 eksemplaar, dengan tabal 450. Cetakan sederhana dan bukan ukuran penerbitan buku, maar pake printer computer. Maar buku ini kaya deng referensi en kita pake en rangkum deng bahan-bahan nara-sumber yang kita cari dan dapa sandiri. Selamat babaca.
Seperti sudah dipaparkan sebelumnya, nama Manado mulai tercantum dalam peta dunia pada tahun 1541 oleh kartografer Spanyol, Nicolas Desliens. Mulanya bukan dalam bentuk kota, tetapi nama sebuah pulau yang kita kenal sekarang, Manado Tua. Kemudian pada 1590, Loco, seorang pelaut Spanyol menempatkan Manado sebagai nama laut. Terdapat banyak penafsiran oleh berbagai peneliti mengenai asal muasal nama ini. Dari penelitian G. Molsbergen diperoleh keterangan bahwa nama pulau Manado Tua mulanya disebut Manarow, asal dari bahasa Tontembuan, yang berarti, "sesuatu yang terletak di seberang," yaitu pulau batu atau pulau gunung yang berhadapan langsung dengan tempat bernama Wenang. Nama wenang sendiri adalah nama jenis pohon yang dalam bahasa latin disebut: Macaranga Hispida.
Dari cerita legenda turun temurun lingkungan Pakasaan Tombuluh disebutkan bahwa Manado Tua disebut oleh dotu-dotu tanah "Wawo un Tewu," artinya, tanah atau pulau terapung diatas air. Penduduknya disebut "touw wawo un tewu," artinya, masyarakat yang tinggal di pulau terapung. Penduduknya kemudian disebut sebagai Touw Babentehu yang bukan saja di pulau, tetapi juga penghuni pulau-pulau sekitar daratan Minahasa, yakni Talise, Bunaken, Bangka dll. Penduduk ini adalah hasil pembauran masyarakat turunan Sangir dan Talaud, Bolaang-Mongondow dan Minahasa. Selain itu terdapat pula turunan asal kepulauan Maluku Utara, terutama Ternate dan Halmahera yang melarikan diri ketika pihak kesultanan memperluas agama Islam. Pemimpin dari masing-masing kampung disebut, "Kolano," istilah dari budaya masyarakat Moro di Mindanao (Filipina-Selatan). Tetapi kehidupan penduduk di Manado Tua tidak tenteram dari serangan luar. Selain pasukan kerajaan Bolaang Mongondow, juga dari bajak laut dari kepulauan Filipina. Para Kolano kewalahan mempertahankan diri hingga tercerai berai. Ada yang bermukim di kepulauan Sangir dan Talaud. Untuk mengatasi keadaan, para kolano menghubungi taranak Tombuluh di Wenang, daratan Minahasa guna memperoleh bantuan menyelamatkan penduduk Manado Tua. Sebagai hasilnya, pihak Dewan Pakasaan Tombuluh mengizinkan penduduk Manado Tua bermukim di daerah "Sindulang," di muara sungai Tondano yang sekarang menjadi sungai Manado.
Manado mulai mekar sejak kedatangan musafir Spanyol dan Portugis dipertengahan abad XVI. Ketika Spanyol mulai mengembangkan program budaya kofi menggusur budaya minum teh di daratan Cina, Manado mendapat peranan sebagai pusat niaga. Penanaman kofi yang di ambil dari Amerika-Selatan kembangkan di pedalaman Minahasa. Sejak saat itu Manado mulai mendapat perhatian "orang Gunung" -sebutan penduduk asli Minahasa- terutama setelah dibangun sekolah-sekolah dan gereja oleh misionares Katholik Portugis dan Spanyol. Berlanjut dengan gereja-gereja Protestant dari Belanda dan Jerman.
Manado kemudian menjadi daya tarik bagi kalangan masyarakat Cina hingga menjadi kota niaga. Masyarakat Cina dari daratan Cina Selatan mulai berdatangan, selain mendirikan pemukiman pecinan, juga mendirikan gudang kofi (kini Pasar 45) di pusat kota -yang membelakangi Benteng Fort Amsterdam. Pemukiman ini juga diikuti oleh masyarakat pedagang turunan Arab dan mendirikan pemukiman Kampung Arab di pusat kota. Manado kemudian berkembang dengan masyarakat turunan Spanyol, Portugis, Belanda dan Jerman. Juga dengan kedatangan turunan Jawa, Banjar, Flores, Timor, Maluku hingga terbentuk masyarakat hitrogin dengan bahasa Melayu pasar (dialek Manado) sebagai bahasa pengantar. Pada 1854, jumlah penduduk Manado berkisar 2529 orang. Diantaranya terdapat 291 turunan Eropa, 630 turunan Cina dan 1043 turunan Borgo (Indo-Eropa), selebihnya turunan Arab dan pribumi Minahasa. Hal ini terjadi karena Manado hanya berfungsi sebagai pusat niaga untuk berbelanja dan bukan tempat pemukiman bagi pribumi yang tetap tinggal di pedalaman hinterland.
Kata Pengantar
Memang nyanda sadiki yang batanya dari mana kata itu ide Manado sampe jadi torang pe stad. Nyanda gampan mo dapa dia pe referensi kalo nyanda rajing babongkar cari tau sajarah. Suda jo kwa mengenai Manado, he lei mo tau sejarah Minahasa masi banya lei cuma ba rai, nyanda ada kekuatan referensi akademis. Apa lagi dalam bahasa Indonesia. Maar kita sanang, karna ta pe tamang, Captain Billy Matindas MSc (Alm), yang juga idealis voor mo angka itu Minahasa, iko batulung bacari referensi tentang Minahasa sampe ba Ron ka ujung dunia. Dia ada dapa banyak referensi, yang kemudian dirangkum dan disusun door H.B. Palar dan L.Anes sampe terbit itu buku: "Minahasa: Sejarah dan Derap Langkahnya Menuju Kemerdekaan Indonesia," terbitan Tarsius Headquarters, Manado, November 1994. Memang nyanda ada di toko buku, en Billy Cuma cetak cuma 1000 eksemplaar, dengan tabal 450. Cetakan sederhana dan bukan ukuran penerbitan buku, maar pake printer computer. Maar buku ini kaya deng referensi en kita pake en rangkum deng bahan-bahan nara-sumber yang kita cari dan dapa sandiri. Selamat babaca.
Seperti sudah dipaparkan sebelumnya, nama Manado mulai tercantum dalam peta dunia pada tahun 1541 oleh kartografer Spanyol, Nicolas Desliens. Mulanya bukan dalam bentuk kota, tetapi nama sebuah pulau yang kita kenal sekarang, Manado Tua. Kemudian pada 1590, Loco, seorang pelaut Spanyol menempatkan Manado sebagai nama laut. Terdapat banyak penafsiran oleh berbagai peneliti mengenai asal muasal nama ini. Dari penelitian G. Molsbergen diperoleh keterangan bahwa nama pulau Manado Tua mulanya disebut Manarow, asal dari bahasa Tontembuan, yang berarti, "sesuatu yang terletak di seberang," yaitu pulau batu atau pulau gunung yang berhadapan langsung dengan tempat bernama Wenang. Nama wenang sendiri adalah nama jenis pohon yang dalam bahasa latin disebut: Macaranga Hispida.
Dari cerita legenda turun temurun lingkungan Pakasaan Tombuluh disebutkan bahwa Manado Tua disebut oleh dotu-dotu tanah "Wawo un Tewu," artinya, tanah atau pulau terapung diatas air. Penduduknya disebut "touw wawo un tewu," artinya, masyarakat yang tinggal di pulau terapung. Penduduknya kemudian disebut sebagai Touw Babentehu yang bukan saja di pulau, tetapi juga penghuni pulau-pulau sekitar daratan Minahasa, yakni Talise, Bunaken, Bangka dll. Penduduk ini adalah hasil pembauran masyarakat turunan Sangir dan Talaud, Bolaang-Mongondow dan Minahasa. Selain itu terdapat pula turunan asal kepulauan Maluku Utara, terutama Ternate dan Halmahera yang melarikan diri ketika pihak kesultanan memperluas agama Islam. Pemimpin dari masing-masing kampung disebut, "Kolano," istilah dari budaya masyarakat Moro di Mindanao (Filipina-Selatan). Tetapi kehidupan penduduk di Manado Tua tidak tenteram dari serangan luar. Selain pasukan kerajaan Bolaang Mongondow, juga dari bajak laut dari kepulauan Filipina. Para Kolano kewalahan mempertahankan diri hingga tercerai berai. Ada yang bermukim di kepulauan Sangir dan Talaud. Untuk mengatasi keadaan, para kolano menghubungi taranak Tombuluh di Wenang, daratan Minahasa guna memperoleh bantuan menyelamatkan penduduk Manado Tua. Sebagai hasilnya, pihak Dewan Pakasaan Tombuluh mengizinkan penduduk Manado Tua bermukim di daerah "Sindulang," di muara sungai Tondano yang sekarang menjadi sungai Manado.
Manado mulai mekar sejak kedatangan musafir Spanyol dan Portugis dipertengahan abad XVI. Ketika Spanyol mulai mengembangkan program budaya kofi menggusur budaya minum teh di daratan Cina, Manado mendapat peranan sebagai pusat niaga. Penanaman kofi yang di ambil dari Amerika-Selatan kembangkan di pedalaman Minahasa. Sejak saat itu Manado mulai mendapat perhatian "orang Gunung" -sebutan penduduk asli Minahasa- terutama setelah dibangun sekolah-sekolah dan gereja oleh misionares Katholik Portugis dan Spanyol. Berlanjut dengan gereja-gereja Protestant dari Belanda dan Jerman.
Manado kemudian menjadi daya tarik bagi kalangan masyarakat Cina hingga menjadi kota niaga. Masyarakat Cina dari daratan Cina Selatan mulai berdatangan, selain mendirikan pemukiman pecinan, juga mendirikan gudang kofi (kini Pasar 45) di pusat kota -yang membelakangi Benteng Fort Amsterdam. Pemukiman ini juga diikuti oleh masyarakat pedagang turunan Arab dan mendirikan pemukiman Kampung Arab di pusat kota. Manado kemudian berkembang dengan masyarakat turunan Spanyol, Portugis, Belanda dan Jerman. Juga dengan kedatangan turunan Jawa, Banjar, Flores, Timor, Maluku hingga terbentuk masyarakat hitrogin dengan bahasa Melayu pasar (dialek Manado) sebagai bahasa pengantar. Pada 1854, jumlah penduduk Manado berkisar 2529 orang. Diantaranya terdapat 291 turunan Eropa, 630 turunan Cina dan 1043 turunan Borgo (Indo-Eropa), selebihnya turunan Arab dan pribumi Minahasa. Hal ini terjadi karena Manado hanya berfungsi sebagai pusat niaga untuk berbelanja dan bukan tempat pemukiman bagi pribumi yang tetap tinggal di pedalaman hinterland.
Receive all updates via Facebook. Just Click the Like Button Below▼
▼